SETTLE FOR LESS
HAPPY BIRTHDAY MAS FATHIR-KU SAYAAAANGGGG!!!
Sebetulnya yang ulang tahun Douglas Booth sih tapi karena
dia salah satu jelmaan karakter di novel gue (Settle for Less sebagai Fathir)
makanya gue excited banget pas lihat postingannya Douglas di instagram. Selain
itu, Kadek Devi sebagai jelmaan karakter gue di novel ini (Nesha) juga baru aja
melahirkan dua anak kembar yang unyu-unyu. Unch unch, ku senang sekali buka
instagram isinya hal-hal yang positif begini.
Sebagai hadiah ulang tahun dari gue untuk mereka (apa ini), gue
mau revisi novel gue itu agar lebih layak untuk dibaca. Nah, selama seminggu
ini gue sibuk di depan laptop gue. Edit halaman per halaman dari novel itu yang
isinya sekitar 250 halaman Microsoft Words! Huhuhu..
Tapi tidak apa-apa. Demi Fathir dan Nesha, aku sudah
menyiapkan mental untuk meng-edit semua kekacauan ini...
Kalau mau baca novel aing ini, bisa di Wattpad gue tapi link
lebih spesifiknya ada di sini : https://www.wattpad.com/story/17949649-settle-for-less
Oh iya, gue juga pernah buat postingan tentang novel ini sih
di blog. Kemungkinan bakalan gue jadikan draft aja karena enggak layak baca
haha. Sebagai gantinya, gue copy bab 1, 2, 3, dan 4 nya ke sini. Selamat
membaca!!!
SETTLE FOR LESS
-awal tahun 2014-
Suasana
di Bekasi ini cukup terik. Banyak dari mereka yang menutup wajahnya dari
teriknya matahari pagi. Meskipun pagi hari tapi efek global warming cukup besar, belum lagi daerah perkotaan membuat
matahari seperti di ubun-ubun. Banyak dari mereka yang menghindar dari sinar
matahari ini. Ada yang sedang berjalan di trotoar menggunakan payung. Ada juga
yang sedang menunggu bis sambil menutup pelipis dahinya seperti cowok ini.
“Sial.”
umpatnya kesal.
“Kalau
mobil gue enggak disita bokap, kagak bakal gue naik bus kayak gini,” Dalam hati
dia masih menggumam kesal. Cowok ini sebetulnya agak malas keluar rumah,
apalagi situasi tidak mendukung. Mobilnya kena sita Papanya sendiri. Tapi
berhubung dia ada jadwal konsul skripsi dengan dosennya siang ini, mau tak mau dia
menerjang panas terik pagi ini.
Matanya
melebar melihat bis yang mengarah ke Kampung Rambutan akan menepi di pinggir
jalan. Dia berlari cepat mendekati bus itu, tak memperdulikan penumpang lain
yang berhamburan ingin masuk.
Padahal
ini bukan halte. Tapi yang naik bis kok banyak banget? Pikirnya dalam hati.
Di
dalam bis, matanya menyusuri tiap kursi yang masih kosong. Akhirnya dia
memutuskan duduk di kursi tiga paling belakang, dekat jendela. Dia sempat
menghela napas lega karena berhasil melewati panas teriknya kota Bekasi.
Tangannya merangkak naik, membuka jendela yang ada di sampingnya. Berharap
embusan angin dapat menenangkan betapa panas hatinya sekarang.
Perlahan
namun pasti, bis ini jalan juga. Cowok ini melirik jam tangannya. Jam 10.23.
Kalau perkiraan kasar gue sih, bisa sampai jam setengah dua belas. Itu juga
udah ditambah macet di Cibubur, belum lagi di Depok. Pikirnya. Tapi ketika
sampai di Halte Tol Bekasi Barat, bis ini ngetem
kembali. Aduh! Kapan nyampenya kalau begini!
Dia
menoleh ke arah jendela. Ah, capek gue kalau ngarep ini bis cepat jalan.
Gumamnya. Padahal sudah sesiang ini, mana mungkin akan ada banyak penumpang?
“Permisi
Ibu, Bapak, Kakak, silahkan dibaca bukunya...” Seorang bapak-bapak memberikan
tiga buah buku kepada cowok ini, membuat ia tersadar dari lamunannya. Hah? Ini
bapak-bapak kasih gue buku? Pikirnya bingung melihat buku yang berserakan di
sampingnya.
“Jika
berminat, bisa membeli dengan harga sepuluh ribu rupiah untuk buku anak, dua
puluh ribu untuk kamus dan...”
Oh,
promosi buku rupanya, kirain gratis. Cowok ini kembali memejamkan matanya.
Suasana bis cukup ramai dengan suara obrolan penumpang dan tentu saja tukang
jualan buku itu. Tetapi cowok ini tetap memejamkan matanya, menganggap semua
suara ini akan menidurkan dirinya.
Terdengar
suara berisik dari depan pintu bis. Cukup gaduh karena sempat terdengar bunyi
gitar, alat musik pukul (seperti drum
mungkin?), dan juga derap kaki. Mata cowok ini kembali terbuka sedikit demi
sedikit, melihat pemandangan di depan bis.
Ada
tiga orang yang masuk ke dalam bis dengan penampilan berbeda. Satu cewek, dua
cowok. Cewek itu menggunakan topi yang diputar ke belakang, dengan kaus hitam,
celana jeans selutut, dan gitar di
genggamannya. Sementara satu cowok lagi memakai kaus hitam oblong, celana jeans, dan juga memegang gitar. Lain
halnya dengan cowok yang tersisa. Dia memakai kaus dengan jaket hitam dan
celana jeans sambil membawa kajoon. Tau kajoon? Alat musik yang dipukul, biasanya digunakan untuk pengganti
alat pukul dalam musik akustik.
Cewek
itu berjalan ke tengah bis sambil membawa gitarnya. Cowok yang membawa kajoon itu tetap setia berada di depan
bis. Sementara cowok sisanya berjalan agak dekat ke belakang, sehingga wajahnya
terlihat jelas oleh cowok yang duduk ini.
Hmm?
Cowok ini mukanya bukan tipe-tipe pengamen biasanya? Pikirnya sedikit bingung.
Seperti
yang kita tau biasanya pengamen itu bertato, badannya kurus, berkulit gelap,
belum lagi seragamnya hitam-hitam. Tapi pengamen ini tidak. Dia berkulit putih
bersih, wajahnya juga tidak jelek, bahkan masuk dalam kategori lumayan. Sempat
ada cekikikan dari cewek-cewek yang duduk di depan saat melihat cowok itu
masuk. Sementara cowok yang sedang duduk ini, melirik ke cewek yang berdiri di
tengah bis.
Bis
ini mulai berjalan pelan. Cewek itu berusaha menyeimbangkan badannya agar tidak
jatuh. Dia masih menunduk karena sibuk menyetem gitar di tangannya itu. Sampai
akhirnya dia mendongak dan tersenyum lebar.
Cowok
yang masih terduduk ini tertegun.
“Selamat
pagi, semua.” Cewek itu masih tersenyum membuat cowok ini seketika sadar dari
kantuknya. Astaga, Tuhan. Serunya kaget.
“Kami
dari kumpulan musisi jalanan.” Dia
menekan akhirnya. “Akan menghibur Anda-Anda semua dalam bis ini. Kami akan
membawa tiga lagu untuk menemani perjalanan Anda menuju Kampung Rambutan,”
katanya dengan lembut tapi terdengar keras.
Cowok
ini tidak bisa mengalihkan pandangannya dari cewek itu. Matanya memerhatikan
cewek ini dari atas ke bawah, melihat setiap detailnya. Cewek ini terlalu
sempurna untuk jadi pengamen!
“Lagu
pertama berjudul Wherever You Are. Selamat menikmati.”
Terdengar
intro lagu dari gitar yang dibawa
cewek itu. Bibirnya masih menyunggingkan senyumnya, tangannya tetap sibuk
memainkan gitarnya. Sepintas, dia mirip sekali dengan Sheryl Sheinafia jika
bermain gitar.
“For a while we pretended....”
Gila!
Suaranya bagus banget lagi! Pikir cowok itu lagi. Prenounciation-nya juga perfect
banget, enggak mungkin cewek ini pengamen biasa! Cowok ini menatap cewek itu
tidak percaya. Mungkin kesannya gampangan banget kalau liat cewek cakep tapi
coba kalau kalian di posisi dia sekarang, yang sejak tadi hanya melihat ibu-ibu
gendut gendong anaknya berseliweran.
Dia
sempat melihat cewek ini berduet dengan kawan di sebelahnya ini. Oh ya ya. Mata
cowok ini berputar malas. Dia baru ingat lagu ini dibawakan oleh dua orang.
Mereka
memang membawa tiga lagu. Lagu pertama Wherever You Are, kedua Iris, dan
ditutup dengan lagu beat. Cowok ini
kurang tau lagu terakhirnya tapi yang jelas, dia menikmati suguhan dari
‘pengamen-pengamen’ ini. Tanpa sadar matanya menatap cewek ini tak berkedip.
Sampai-sampai dia tidak sadar bis ini akan keluar tol yang berarti akan segera
sampai.
“Terima
kasih para penumpang bis yang telah menikmati lagu dari kami. Semoga suguhan
dari kami menghibur Anda semua ‘dan’ maaf jika telah mengganggu perjalanan
Anda. Sekali lagi, terima kasih. Permisi..” Dia mengeluarkan bungkus permen
besar untuk menampung uang tersebut.
Teman
cewek itu yang tadinya berdiri di belakang bis, langsung berjalan mendekati.
Dia mengintil di belakang cewek itu sambil memetik gitarnya, membuat cewek itu
tersenyum senang. Cowok itu bernyanyi mengiringi sang cewek di belakangnya. Cewek ini terus menerima uang seraya
mengucapkan terima kasih.
Lalu
tibalah cewek itu di hadapan cowok yang terdiam tadi. Dia memajukan kantungnya
ke hadapan cowok—yang ia sadar—memerhatikannya sejak tadi.
Cowok
ini diam tak berkutik melihat cewek itu sekarang. Sumpah, enggak bohong. Ini
cewek cantik banget! Cowok ini terpana. Wajahnya yang putih bersih, mata yang
lebar, alis yang terukir rapi, bibir merah muda, suaranya yang lembut, dan
senyumnya... Sampai lupa kalau gue lagi di bis neraka ini, pikir cowok ini.
Alis
mata cewek ini sedikit dinaikkan. Masih menunggu cowok ini rupanya. Cowok itu
berkedip dan mengalihkan pandangannya, menyadari tingkah bodohnya. Tapi cewek
ini juga diam di tempatnya. Entah mengapa dia tidak bisa pergi, melangkahkan
kakinya dari sana.
Cowok
ini sebetulnya tidak biasa. Dia tampan. Ralat, sangat tampan. Badannya mungkin
tinggi tegap, alis yang tebal dan rapih, bibir tipis, serta wajah yang agak
kebarat-baratan. Kharismanya juga terlihat jelas dari aura wajahnya. Diam-diam,
cewek ini mengamati selagi menunggu cowok ini mencari uang setiap saku di
jaketnya.
Cowok
ini berusaha tenang dan sekarang mencari uang di selipan tas ranselnya. Yah
elah, lupa ambil duit dari ATM lagi, keluhnya. Dia ingat hanya ada uang tiga
puluh ribu dalam tasnya. Akhirnya dia memilih uang dua puluh ribu dan
memasukkannya ke dalam kantung plastik itu. Cewek ini terlonjak kaget melihat
besarnya uang yang diterima.
“Beneran
ini, Mas?” tanyanya tak percaya. Cowok ini hanya tersenyum tipis membuat cewek
ini memekik kegirangan. Baru pertama kali ada yang memberinya—hem.. lebih
tepatnya mereka—uang sebanyak ini! Dia berterima kasih sebanyak-banyaknya dan
beranjak ke kursi di seberangnya.
Cowok
ini menghela napas pelan melihat punggung cewek itu.
Asal kamu tau. Andai tadi ada uang
100 ribu, aku rela memberikannya untukmu.
2 – Ketagihan?
“Thir!
Fathir!”
Suara
panggilan itu membuat cowok ini terkesiap. Dia menolehkan kepalanya ke segala
arah, mencari sumber suara sampai akhirnya dia melihat siapa yang memanggilnya.
“Lo
tumben masuk? Ada kelas?” Seorang cowok merangkul bahunya dari belakang. Sementara
cowok yang dipanggil Fathir tadi berdehem pendek. Mengingat dirinya harus
berdebat lagi dengan salah satu dosen killer-nya
nanti, membuatnya jengah. Kemudian dia mengeluarkan sebuah berkas dari tasnya.
“Gue
mau ketemu Pak Freddy!” jawab Fathir sedikit ketus. Dia merapihkan
kertas-kertas yang berjumbel itu dengan satu
paper clip lalu menentengnya. Setelah itu tangannya beralih menepis
rangkulan Gerry, sahabatnya.
“Hah?
Ngapain?”
“Biasa.”
Lalu dibalas dengan anggukan pelan dari Gerry. Sudah pasti itu revisian
skripsi.
Mereka
berjalan melewati taman kampusnya. Kampusnya ini lumayan, bisa dikatakan salah
satu universitas swasta yang terkenal di kota Depok. Fathir dan Gerry ini satu
sekolah saat SMA maka tak heran mereka dekat seperti itu. Mereka masuk ke
jurusan yang berbeda saat kuliah tapi tak memutuskan tali persahabatan yang
mereka jalin. Sayangnya minat kuliah Gerry sangat kecil sehingga dia tertinggal
satu semester dari Fathir.
“Oh,
iya. Entar jadi?” tanya Gerry lalu Fathir mengernyitkan dahinya.
“Enggak
tau. Lihat nanti deh. Kalau berhasil, pasti gue ikut.” jawab Fathir penuh
teka-teki. Untungnya Gerry dapat menangkap maksudnya dengan jelas.
Mana
mungkin gue tidak ingat malam ini? Tanya Fathir dalam hati. Harus manggung di
salah satu kafe lagi, menjadi vokalis sekaligus gitaris handal di bandnya. Ini
mimpinya sejak dulu, menyanyi dan dihargai. Sayangnya semua jadi tersendat
mengingat skripsinya yang harus selesai kalau tidak...
“Gimana
kalau lo enggak bisa?” Nada ucapan Gerry terdengar datar tapi wajahnya terlihat
cemas. Sambil tersenyum tipis, Fathir menepuk bahu Gerry pelan.
“Oke,
gue ralat. Gue pasti ikut.”
***
Berkutat
dengan Pak Freddy selama 3 jam penuh membuat batinnya panas. Kesabarannya sudah
diuji setelah tadi Pak Freddy merevisi bagian yang awalnya tidak perlu
direvisi, lalu nanti dia harus pulang naik bis sialan itu.
Andai
kemarin enggak ikut, batinnya sedikit menyesal.
Fathir
ingat dia harus pulang malam karena mengiyakan ajakan temannya jalan-jalan ke
Puncak. Hanya jalan-jalan seharian, tidak menginap. Itu juga atas nama
solideritas sesama kawan SMA-nya. Sayangnya saat dia sampai di rumah, papanya
sudah menunggu kedatangannya. Seperti tidak mau mendengarkan penjelasan Fathir,
papanya langsung menuding Fathir asyik nge-band dan melupakan skripsinya.
Karena sifat papanya yang tidak suka dibantah, dengan berat hati Fathir
menyerahkan kunci mobilnya. Fathir mengusap wajahnya sedikit frustasi.
Fathir
melangkahkan kakinya keluar kampus dan memasukkan bundelan kertasnya ke dalam
tas. Matanya menatap lurus ke depan, tidak mau melihat ke sekelilingnya.
Pikirannya terus berkecamuk pelan lalu tiba-tiba teringat kejadian tadi pagi.
Pengamen-pengamen
itu!
Apa
mereka mengamen lagi kalau sore? Tanyanya dalam hati.
Fathir
kembali duduk di kursinya tadi. Bis ini tidak sama persis seperti tadi, tapi intinya
tetap sama. Naik bis. Bedanya ini untuk pulang. Bukan berangkat panas-panas
seperti tadi pagi.
Telinganya
mendengar suara derap langkah berisik dari pintu depan. Jantungnya sempat
berdebar, entah mengapa. Cukup lama tidak terdengar suara sampai salah satu
dari mereka membuka penampilan.
“Selamat
sore..”
Terlihatlah
sosok-sosok yang sedang berdiri di depan. Fathir sedikit kecewa. Itu bukan
mereka. Ketiga pengamen itu memiliki formasi yang sama dengan pengamen tadi
pagi. Tapi mereka bukan orang yang sama.
Tanpa
sadar Fathir membuang muka dan tersenyum tipis.
Kenapa gue jadi mengharapkan
kedatangan mereka?
***
Fathir
membereskan piring makan malamnya dan meneguk segelas air putih. Bik Ijah yang
sedari tadi menunggunya makan, langsung siap mengambil piring yang sudah bersih
itu. Kepala Fathir melihat-lihat sekelilingnya. Sepi. Baru saja dia makan malam
sendirian, tidak ditemani kedua orangtuanya.
“Bi,
mama papa kemana?” Fathir bertanya ke Bik Ijah, salah satu pembantu yang
bekerja di rumahnya. Bik Ijah yang sedang mencuci piring di dapur, langsung
menoleh dan menjawab cepat.
“Oh,
kata bapak sih mau ada makan malam sama rekan kerjanya, Den. Pulangnya besok
pagi.” jawabnya dengan medok Jawanya yang kental. Fathir tersenyum lebar
mendengarnya dan langsung mengambil HP dari saku celananya.
“Oi,
Ger. Lo langsung gaspol aja ke rumah
gue sekarang. Oke, sip.” Tangannya menggeser layar, memutuskan panggilan.
Kepalanya mendongak ke Bik Ijah di seberang meja sambil membangkitkan badannya.
“Bi,
kalau papa tiba-tiba pulang, telepon saya ya?”
***
“Terima
kasih,”
Tepuk
tangan riuh memenuhi seluruh kafe ini. Fathir tersenyum puas melihat
pemandangan ini. Dia senang melihat banyak orang yang menyukai penampilannya.
Tak sia-sia dia nekat melanggar ultimatum papanya agar tidak nge-band selama
menyelesaikan skripsi. Baginya, pemandangan ini lebih dari gelar sarjana yang
ia dapat nanti.
Keempat
laki-laki di atas panggung itu membangkitkan badannya dan membereskan
peralatannya. Mereka yang terdiri dari Gerry, Ryan, Nio, dan tentu saja Fathir
turun dari atas panggung. Mereka berjalan melewati sisi kiri panggung sambil
bercakap-cakap.
“Good job, man!” Gerry menepuk bahu
Fathir pelan. Fathir hanya terkekeh pelan sambil membawa gitar dengan satu
tangannya.
“Tetep
aja kalau enggak ada kalian, mana mungkin bisa sukses malam ini?” ujarnya.
Gerry mendengus pelan mendengar kata-kata Fathir itu. Dia tau sebetulnya Fathir
yang menjadi pusat dari band mereka ini. Seperti biasa, seorang front man dengan tampang kelas atas dan
suara merdu, pasti terlihat lebih menarik dibandingkan pengiringnya. Selalu
begitu.
“Iya
deh, terserah lo.” Gerry menepis kata-kata Fathir tadi. “Gue kira lo bohong
kalau lo mau ikut, ternyata beneran jadi,” Gerry sedikit mencibir. Fathir tidak
menggubris kata-kata Gerry itu. Terkadang Gerry bisa lebih cerewet dari papanya
sendiri.
“Keren
banget lah, kalian ini!”
Fathir
menoleh ke samping kanannya lalu tersenyum. Gadis ini bertubuh mungil, berkulit
putih, berambut cokelat gelap, dan mempunyai senyum yang manis. Vania, salah
satu sahabat Fathir ini selalu berada dimanapun band Fathir manggung. Seperti
saat ini, Vania sudah berdiri di sampingnya dan memuji penampilannya.
“Wah,
kalau lo bukan sahabatnya udah dijadiin pacar, Van!” timpal Ryan dari belakang
Fathir dan Vania. Vania hanya tersenyum simpul sementara Fathir berusaha
memiting leher Ryan.
“Atau
lo yang mau pacarin Vania, Dick?”
tanya Fathir sambil menyeringai usil. Tangannya juga tidak melepas pitingan di
leher Ryan. Mata Ryan mendelik lebar, memperingatkan sahabatnya sejak SMA ini.
“Udah
gue bilang, jangan panggil gue Dick!
Panggil pake nama depan gue! Ryan!” balas Ryan emosi. Fathir terkekeh geli.
Ryan memang paling benci dipanggil Dick.
Dia hanya mau dipanggil sebagai Ryan, nama depannya. Bukan Dicky, nama
tengahnya. Kenapa dia benci dipanggil Dick?
Kalau kalian tau artinya pasti sudah senyum-senyum saat ini.
“Hahaha!
Panggilan kesayangan dari jaman purbakala itu!” Gerry tertawa geli bersama
Fathir sementara Nio sibuk memainkan ponselnya. Hanya Nio yang paling pendiam
dan tak tertarik bergabung untuk berisik seperti kawan-kawannya ini.
Sementara
Vania tersenyum tipis melihat keakraban band sejak SMA ini. Dia tau seluk beluk
band ini. Dari hanya sekedar manggung di acara sekolah mereka dulu sampai
sekarang manggung di kafe-kafe, jelas bukan perjuangan yang mudah. Apalagi dia
tau ada salah satu personilnya yang dikekang habis untuk berkarir di bidang
musik.
Dicky
hem.. Ryan merapihkan kerah kemejanya
bekas tarikan Fathir tadi. Dia bersungut-sungut kesal menjauhi ketiga temannya
ini lalu berjalan menuju toilet. Fathir masih tertawa geli sambil menatap ke
arah perginya Ryan.
“Kayak
cewek aja. Kalau marah jalannya ke kamar mandi, terus nangis. Habis itu benerin
make up deh,” komentarnya diikuti
anggukan setuju dari Gerry. Tiba-tiba ada cubitan pedas di lengan Fathir
membuat Fathir mengaduh kecil.
“Enggak
inget di sini masih ada cewek?” tanya Vania dengan nada seseram mungkin.
Tangannya masih mencubit lengan Fathir kencang, bahkan Fathir yakin saking
kencangnya akan ada bekas kemerahan di sana. Fathir berusaha melepas cubitan
Vania itu tapi yang ada cubitannya semakin kencang.
“Iya!
Iya! Ampun!”
“Makanya
jadi cowok jangan kurang ajar ya! Disumpahin jadi gay, mau?!” tanya Vania tanpa melepas cubitannya. Fathir terlonjak
kaget dan menoleh ke arah Vania yang masih menahan kesal.
“Vania!”
serunya kaget. Sementara Gerry sudah beringsut-ingsut menjauhi Fathir. Takut
menjadi korban pertama Fathir. Fathir memutar bola matanya kesal, sedikit capek
menghadapi sahabat cewek satu-satunya ini.
“Minta
maaf, nggak?!” seru Vania galak. Fathir mencibir pelan.
“Minta
maaf sama siapa?” Meskipun hanya cibiran begitu tapi Vania dapat mendengarnya.
Cubitan di lengan Fathir semakin kencang. Fathir semakin mengaduh kesakitan.
“Sama
gue dan Ryan lah! Minta maaf cepet!”
“Iya,
maafin gue ya! Ryan sama Vania!”
“Enggak
ikhlas banget sih!”
Fathir
mendengus kesal. Ini cewek maunya apa sih?
“Vania,
gue minta maaf ya udah merendahkan elo. Kalau Ryan entar aja deh, pas anaknya
nongol,” Fathir berusaha melembutkan nada suaranya meskipun tetap terdengar
tidak rela. Vania hanya menyeringai puas di punggung Fathir dan melepas
cubitannya.
“Makanya
jangan meremehkan cewek!”
***
Fathir
berjalan lunglai keluar dari kamarnya. Skripsi masih ada revisian, tawaran band
belum ada, mobil kena sita.. Kurang lengkap apalagi sih sialnya Fathir?
Akhirnya dia membuka kulkas di dapurnya, mengambil sekotak susu Ultra coklat.
Sebetulnya ini susu punya Adelle tapi biarin amat lah, pikir Fathir saat ingat
susu ini bukan punyanya.
“Kak
Fathir! Lo buka kulkas?! Jangan ambil susu Ultra gue ya! Dosa!”
Yah
elah, baru juga mau gue embat, Fathir mendengus kesal. Kalau aja si Adelle
enggak mengingatkan Fathir tadi, pasti susu itu sudah berakhir di tong sampah
dapurnya. Mau tak mau dikembalikan lagi
susu Ultra itu ke tempatnya. Matanya sempat mencari sesuatu yang menarik dari
kulkas tapi tidak ada. Yang segar dan menarik hanya sayur mayur keperluan Bik Ijah
untuk memasak. Setelah menghela napas kesal, Fathir membanting pintu kulkasnya
dan berjalan ke ruang tengah.
Fathir
menyalakan TV ruang tengahnya dan mencari channel
TV yang mungkin dia minati. Hasilnya tetap nol. Baik channel dalam negeri maupun luar negeri tidak ada yang menarik.
Fathir memang lebih senang tersesat di luar sana daripada harus terkurung di
rumah. Ah! Andai mobil gue enggak kena sita, enggak bakal begini ceritanya!
Fathir mengacak-acak rambutnya frustasi.
“Kenapa,
Kak? Kok acak-acak rambut?”
Fathir
menoleh ke sumber suara yang sudah diketahui pemiliknya itu. Dia melihat
Adelle, adiknya sedang meminum susu Ultra coklat tadi. Aduh! Fathir menyipitkan
matanya. Susu incarannya melayang!
Adelle
mengambil tempat di sebelah Fathir yang tidak mau menjawab pertanyaannya.
“Kak
Fathir kenapa sih? Habis diputusin ya? Kok Adelle enggak tau Kak Fathir
pacaran?” tanyanya polos.
Bodo
amat deh. Fathir merebahkan kepalanya lelah ke sandaran sofa. Dia menutup kedua
matanya dengan lengan kanannya, menenangkan pikirannya.
“Kak!
Kita jalan-jalan yuk! Bosen!” Adelle merengek sambil menggoyangkan badan
Fathir. Fathir yang malas diganggu, masih menutup sebagian wajah dengan
tangannya. Dia agak malas menanggapi adiknya yang rewel ini padahal sudah kelas
2 SMA.
“Males.
Mending lo jalan-jalan sama pacar lo tuh! Enggak inget mobil gue kena sita?”
balas Fathir tanpa merubah posisinya sama sekali. Dia tidak tau Adelle sudah
merengut kesal melihat kakaknya yang super tidak perhatian itu.
“Huh!
Pantesan aja Kak Fathir susah dapet pacar! Enggak peka sih!” Adelle berjalan
meninggalkan Fathir sendirian di ruang tengah. Fathir langsung menurunkan
lengan dari wajahnya dan melirik ke arah perginya Adelle. Fathir berdecak
heran. Kalau enggak ada mama papa pasti gue yang disamperin. Bik Ijah kek
sekali-kali, pikirnya.
Mengingat
sifat childish Adelle tadi, membuat
Fathir teringat lagi dengan Gea, mantan pacarnya saat SMA. Mereka menjalani
hubungan yang cukup lama, 2 tahun. Tapi semua sia-sia karena LDR. Gea tidak
siap harus menjalani hubungan jarak jauh itu dengan Fathir. Gea kuliah di
Amerika sementara Fathir di Depok. Miris? Memang.
Fathir
langsung terkesiap dari tidurnya saat mengingat hari kemarin. Ah! Sudah jam
berapa sekarang? Matanya melirik ke jam besar di sudut ruangan. Jam 09.10.
Fathir tersenyum penuh arti dan langsung melesat ke kamarnya.
***
Kalian
mungkin tidak tau apa yang terjadi hari ini, hari esok, atau seterusnya. Sama
seperti Fathir. Dia tidak menyangka bisa berada di dalam bis ini lagi, hanya
sekedar ingin bertemu pengamen-pengamen itu. Apalagi dia tidak punya jadwal
apapun di kampusnya meskipun dia sudah berencana ingin mengganggu Gerry nanti.
“Duk..
Duk...”
Mata
Fathir terjaga. Dia tidak memejamkan matanya lagi. Telinganya mendengar jelas
derap langkah tak beraturan itu. Padahal dia baru saja mendengarnya kemarin dan
dia ketagihan. Maka dari itu dia di sini, sekedar ingin melihat penampilan
pengamen itu. Uang pecahan pun sudah disiapkan di tasnya. Ia tidak mau
melakukan kesalahan yang sama seperti kemarin. Lupa bawa pecahan uang untuk
berangkat dan pulang.
Fathir
sudah duduk manis di kursinya kemarin. Sekarang Fathir sudah menyamar seperti
manusia berkepribadian lain. Tidak seperti kemarin yang menggerutu sepanjang
hari, dia hanya terdiam di kursinya. Menunggu. Seolah-olah dia menikmati detik
demi detik yang dihabiskan dalam bis ini.
Pengamen-pengamen
itu membentuk formasinya. Melihat pemandangan itu membuat Fathir tersenyum
senang. Di depannya ini benar pengamen-pengamen yang kemarin.
Cewek
manis itu pun terlihat lagi. Dia hanya memakai kaus merah dengan label distro, jeans belel di bawah lutut, topi yang
diputar ke belakang, dan tentu saja gitar manis di tangannya. Dia melemparkan senyum
setiap berpapasan dengan penumpang di dekatnya, takut mengganggu. Cewek itu
terlihat sempurna apa adanya. Fathir terpana. Matanya tidak bisa berhenti
memerhatikan cewek itu lekat-lekat. Tiap detail dari cewek itu disimpan rapi
dalam otaknya, tidak mau menghilangkan kesempatan ini.
Cewek
itu menolehkan kepalanya, tepat ke arah Fathir. Kemudian terpaku. Seharusnya dia
menyetem gitar setelah itu memberi salam. Tapi tatapan ‘penumpang ganteng
kemarin’ itu membuat cewek ini terlupa aktifitas rutinnya itu. Apalagi dia
sadar mata cowok itu sedang menatap balik dirinya.
“Ehem,” Cewek ini berdehem menghilangkan
kegugupannya.
“Selamat
pagi, penumpang..”
Fathir
menyeringai puas. Sepertinya perjalanan hari ini akan menyenangkan.
3 – Pertemuan
Kedua
Bagaimana mungkin bis terkutuk ini menyimpan seseorang
seperti ini?
Memandanginya saja aku tidak bosan.
Apalagi mendengar suaranya yang merdu itu.
Fathir
mendadak bersyair seperti priyayi dan semua ini terjadi karena pengamen itu. Dia
tidak bisa mengelak lagi kalau dia terpana dengan cewek itu. Kepalanya juga
tidak mau memalingkan pandangan ke arah lain. Hanya ke depan sana. Cewek itu
masih bernyanyi dengan riang, senyum lebar terlukis di wajahnya. Sampai
sekarang, Fathir tidak mengerti kenapa perempuan itu bisa sangat menikmati
pekerjaan ini.
“Terima
kasih sudah mendengarkan lagu-lagu dari kami. Semoga bapak ibu yang ada di sini
terhibur. Permisi,” Cewek itu mengeluarkan bungkus besar bekas permen itu dari
saku celananya.
Apa?
Fathir keheranan. Sudah selesai? Kok cepet banget? Kepala Fathir menoleh ke
kanan lalu ke kirinya, memastikan kalau bis ini hampir sampai pintu tol. Yang
berarti perjalanan menaiki bis ini sudah selesai. Dan ternyata benar. Sial,
umpatnya.
Dengan
sedikit enggan, dia membuang mukanya dari cewek itu dan mengeluarkan uang dari
tasnya. Uang yang berwarna kehijauan keluar dari sakunya. Fathir berdecak kesal
merutuki kebodohannya. Meskipun dia tidak lagi lupa mengambil uang di ATM tapi
dia lupa kalau pengamen-pengamen ini akan minta jatahnya. Sedangkan pecahan
uang paling besar di kantungnya hanya segitu.
Mata
Fathir kembali melirik ke cewek itu. Cewek itu dapat terlihat jelas dari kursinya
karena sedang berdiri tidak jauh dari kursinya. Cewek itu masih tersenyum
manis. Fathir diam mengamati, mengagumi cewek itu. Hem, andai cewek itu bukan
pengamen..
“Permisi?”
Fathir
menoleh ke samping kirinya. Matanya mendelik lebar tak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Cowok yang biasa memainkan gitar di belakang, sedang menunggu
upahnya terhadap Fathir, membuat Fathir heran. Jadi.. bukan cewek itu yang
kemari?
Cowok
di dekatnya ini yang biasa menemani cewek itu berduet. Seperti tadi, mereka
menyanyikan lagu All Of Me berduet. Yah, bisa dibilang Fathir sempat ‘iri’
melihat keakraban mereka. Mereka seperti punya chemistry yang kuat. Teringat hal itu membuat Fathir panas sendiri.
Sambil
mengembuskan napas berat, dia menaruh uang itu ke tempatnya. Cowok itu
berterima kasih kemudian menjauhi Fathir. Kepala Fathir bergerak mengikuti arah
perginya cowok itu lalu membuang muka. Tadinya kalau bukan cowok itu yang ke
Fathir, mungkin Fathir sudah bertanya nama cewek tadi siapa. Yah, sekedar tau
nama boleh kan?
“Pon!
Ada cewek nih nanyain nama lo!”
Tanpa
menunggu satu atau dua detik, Fathir menolehkan kepalanya ke asal suara.
Ternyata cewek itu yang berteriak, memanggil cowok tadi yang meminta uang
kepada Fathir. Cowok yang dipanggil ‘Pon’ itu hanya menyahut tanpa melupakan
kegiatannya.
“Tadi
juga ada cowok yang nanyain nama lo, Nes!”
Nes?
Fathir tertegun. Nama cewek itu ada ‘Nes’ nya ya? Fathir tersenyum tipis.
Matanya melihat ke jendela di sampingnya, seolah-olah dia tidak peduli dengan
percakapan yang terjadi barusan. Namun kedua telinganya tetap mendengarkan.
“Oh
gitu?” Cewek itu menyahut. Suara mereka terdengar nyaring di bis ini. Seperti
tidak peduli, mereka tetap mengobrol padahal jarak mereka lumayan jauh. Mungkin
karena sudah terbiasa.
“Dia
juga minta nomer HP lo!”
“Widih,
cakep.” gumam cewek itu lucu.
“Tadi
ada juga yang minta pin BB sama ID Line lu!”
“Wadaw,”
“Ada
juga yang minta alamat rumah lu,”
“Buset
dah,”
“Dia
juga minta dikenalin sama orangtua lu,”
“Lo
bohong yak?” tanya cewek itu tak percaya. Sekarang dia terlihat lucu dengan
mata mendelik lebar dan tatapan marah begitu. Cowok itu menyikapinya dengan
biasa dan menunjuk ke salah satu bangku penumpang. Mata Fathir mengikuti arah
tunjuk cowok itu. Entah siapa yang dia tunjuk karena arah pandang Fathir
tertutup oleh cewek yang duduk di sebelahnya.
“Tanya
sendiri deh,”
“Hebat
bener gue, ternyata fans gue banyak ya hahahaha!” Cewek itu tertawa keras tanpa
malu. Seperti laki-laki. Dia tidak peduli banyak tatapan mata mengarah padanya,
Fathir sekalipun. Tangan Fathir mengepal di depan mulutnya, menahan tawa. Dia
juga jadi ingin tertawa karena cara cewek itu tertawa. Kesannya kayak lucu
banget gitu. Lagipula sekalian menertawai dirinya mengingat dia juga jadi salah
satu fans cewek itu.
Setelah
mengitari seluruh bis, mereka bertemu di tengah-tengah. Cewek itu melirik isi
kantungnya dan tersenyum lebar. Mungkin karena penghasilan dia dapat. Kemudian
mereka berkumpul di belakang, mengobrol sambil sesekali tertawa. Fathir tidak
menoleh ke arah sana, hanya diam mendengarkan. Dia tidak berniat menguping sih
tapi memang mereka saja yang mengobrol tidak tau tempat.
“Lo
balik dulu, Nes?”
“Iya.
Buku gue ketinggalan.”
Kening
Fathir mengernyit bingung. Buku? Buat apa dia ambil buku?
“Mau
gue temenin?”
“Ya
elah. Enggak usah kali! Sejauh apa sih dari tempat gue ke sana?”
“Ya
kali. Siapa tau entar lo hilang,”
“Lo
do’ain gue yang enggak-enggak ya?!”
Lalu
gelak tawa tercipta di antara mereka. Entah cewek itu berbicara dengan siapa,
yang jelas pasti salah satu dari mereka.
Sesampainya
mereka di dekat Jalan Baru, pengamen-pengamen itu turun. Mendadak suasana menjadi
sepi. Hanya terdengar suara mesin yang lebih keras lalu berubah pelan dan
sebaliknya. Fathir menghela napas lelah. Bis ini kembali menjadi bis terkutuk
baginya.
***
Fathir
melayangkan kakinya dengan langkah cepat. Dia mencari sosok Gerry,
penyelamatnya saat tersesat sendirian dalam kampusnya ini. Mereka sudah janjian
akan jalan-jalan di luar sebentar, mumpung masih siang. Untungnya kelasnya
Gerry sudah selesai.
Oh
di kantin, gumamnya sambil membalas Line dari Gerry. Dia pun otomatis berjalan
menuju kantin. Di sekitar Fathir, banyak mahasiswa yang asyik mengobrol, atau
berkutat dengan laptopnya, ada juga mahasiswi lain yang memerhatikan Fathir.
Tampang Fathir yang unik itu membuat mereka terperangah. Apalagi wajahnya yang
asing, jadi mudah diingat. Hem, pengecualian untuk Gerry karena Gerry punya riwayat
buruk untuk mengingat, termasuk nama dan wajah orang.
Kalian
tanya kenapa Fathir tidak mencari teman sekelasnya saja dan bukan Gerry? Oh
jelas tidak mungkin. Selain karena jumlah temannya semakin sedikit karena
tuntutan skripsi, Fathir juga bukan tipikal orang yang senang punya teman
banyak. Satu-satunya teman dekatnya hanya Ashton, cowok kutu buku yang sekarang
menjadi asisten dosen kampusnya. Sudah pasti Ashton sibuk.
Fathir
berjalan mendekati Gerry yang sedang sibuk dengan laptopnya di kantin. Mata Gerry
sangat serius menatap layar laptop. Dia tidak mau mengalihkan perhatiannya
sedikit pun. Bahkan tangannya terus mengetik tanpa melirik ke keyboard laptopnya.
“Ngerjain
tugas?” Fathir menyembul dari hadapan Gerry. Namun Gerry diam. Tidak bergeming.
Saat mulutnya mulai terbuka untuk menjawab pertanyaan Fathir, Fathir sudah
terlebih dahulu duduk di sampingnya dan terlihatlah semua kesibukan Gerry.
Tanpa sadar Fathir berdecak dan memangkukan tangannya di meja ini.
“Masih
aja main begituan,” komentar Fathir setelah melihat Gerry sedang main Alien
Shooter. Salah satu game purbakala
saat mereka SMA.
Tanpa
menoleh ke arah Fathir, Gerry menyengir lebar dan berkata pelan. “Gue jadi
inget jaman SMA, man. Haha..”
kekehnya pelan. Sambil tersenyum tipis, matanya terus memandangi layar laptop
dan melupakan kehadiran Fathir. Fathir kembali menatap layar laptop Gerry
malas.
“Jadi
enggak?”
Gerry
menepuk jidatnya pelan. “Oh iya! Lupa gue hahahahah,” Gerry tertawa lebar tanpa
dosa. Dia segera berbenah singkat, membereskan laptop ke dalam tasnya. Fathir
menggeleng pelan melihat sahabatnya ini. Benar kan! Pasti dia lupa.
Satu-satunya hal yang dia ingat itu hanya jadwal nge-band. Siapa juga yang bisa
lupa kalau Nio selalu menelepon Gerry tiap satu jam agar tidak lupa?
***
“Kagak
takut? Pulang kena amuk bokap lagi?” tanya Gerry sambil berjalan beriringan
dengan Fathir di sebelahnya.
“Mobil
gue udah kena sita, Beb. Mau nyita
apalagi dia?”
“Sumpah
gelik.”
Fathir
tertawa.
“Siapa
tau abis ini lo dipingit biar enggak bisa kabur lagi. Tambah ribet kan,” tanya
Gerry balik.
“Bilang
aja gue dari kampus, habis ngurus revisi skripsi. Pasti dia diam. Lagian gue
enggak sepenuhnya bohong ini,” jawab Fathir seenaknya. Gerry menyerah. Dia
sudah berusaha menjadi sahabat yang baik agar Fathir tidak membuat masalah
lagi. Tapi kalau Fathir tidak mau ya sudah. Mau berbuat apa dia?
Terdengar
suara gaduh dari arah kiri mereka. Suara jerit cewek kegirangan, suara gitar,
suara nyanyian.... Perempuan? Jangan berpikir ini malam-malam, sepi, dan ada
suara cewek bernyanyi sendirian. Itu pasti mencekam. Tapi Fathir merasakan
perasaan itu padahal ini di tengah-tengah kampus. Kepalanya menoleh ke kirinya
dan sepertinya ada pertunjukkan menarik di salah satu sudut taman. Banyak orang
yang berkumpul di situ. Membuat Fathir jadi penasaran.
“Hem,
pasti mereka deh.”
Fathir
menoleh karena mendengar gumaman Gerry yang kurang jelas.
“Apa
tadi lo bilang?”
“Ke
sana, yuk! Lihat bentar,” ajak Gerry. Tanpa menunggu persetujuan Fathir, dia
berjalan lebih dahulu meninggalkan Fathir. Mau tidak mau Fathir mengekor Gerry
di belakangnya.
Kumpulan
orang yang kebanyakan cewek-cewek ini sedang asyik bernyanyi. Ada juga yang
mengeluarkan HP-nya, merekam momen yang pasti akan menyebar di YouTube nanti.
Fathir dan Gerry berdesakan di antara mereka dan akhirnya mendapat tempat agak
depan dari barisan ini.
Fathir
dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di sini. Semuanya. Matanya mendelik
lebar. Jadi, sebetulnya dia itu..?
Gerry
melirik ke arah Fathir yang masih terpaku di tempatnya. Dia sadar pasti
sahabatnya ini tidak tau menahu tentang pertunjukkan gratis ini. Kerjanya
Fathir di kampus itu hanya kuliah, belajar, masuk perpustakaan, ke ruang dosen,
dan sesekali ke kantin. Pasti tidak sempat melihat pemandangan gratis yang
sangat menghibur seperti ini.
Gerry
menepuk bahu Fathir pelan sehingga Fathir terkesiap. Fathir menoleh ke arah
Gerry yang sepertinya akan menjelaskan sesuatu.
“Ini
nih artis kampus kita. Abi, Noval, dan Nesha,”
4 – Namaku
Ganesha
Hidup
itu tidak adil.
Di
saat yang lain asyik-asyikan sama pacar, aku malah sesenggukan dalam kamar. Nangisin
mantan. Sumpah, enggak banget. Sebetulnya aku malas mengingat dia. Tapi karena
putusnya baru kemarin malam, mau tak mau otakku mengingatkanku terus. Hatiku
hancur. Aku putus asa. Aku mau bunuh ayam. Beneran aku enggak sanggup kalau
disuruh bunuh diri. Sehancur-hancurnya aku, aku paling anti kalau disuruh
menyakiti diri sendiri.
“Sudahlah,
Nesha. Mantan lo jangan ditangisin terus. Cowok brengsek kayak dia sih harusnya
digebukin sampai mampus,”
Emang
dasar ini bocah kalau ngomong enggak disaring dulu. Abimanyu, cowok geblek yang
sering aku panggil Abi ini sedang menenangkanku di kamar. Niatnya sih mau
menenangkan aku tapi yang ada aku makin enggak tenang. Kepalaku yang tadinya
masih tenggelam dalam kasur, langsung terangkat ke arahnya.
“Lo
sinting ya?! Gitu-gitu dia pernah pacaran sama gue tau!” balasku nyolot dan
kembali menelungkupkan kepalaku dalam bantal. Aku kembali menangis. Aku
teringat kejadian kemarin yang memergoki mantan pacarku asyik ‘tanding di atas
kasur’ bareng cewek-siapapun-itu-namanya. Padahal rencananya mau bikin surprise ultah dia yang ke 22 tapi malah
aku yang dapat ‘surprais’. Alhasil saking kesalnya aku lempar kue blackforest yang mati-matian aku beli
setelah sebulan nabung ke muka mereka berdua. Lalu mereka sama-sama bengong
melihat aku pergi meninggalkan mereka.
Padahal
aku belum ngomong putus loh tapi aku sudah memutuskannya sendiri. Dia pernah
bilang kalau sampai putus, bisa mati sekarat depan terminal. Nah loh, kan aku
jadi enggak tega ngomong putus di hadapan dia. Meskipun kalau dia masih anggap
aku pacarnya, dengan senang hati aku akan melemparnya ke empang dekat kost an.
Huuu.
Aku memegangi dadaku yang nyeri. Sakitnya tuh... disini.
“Lagian
udah gue bilang jangan pacaran sama dia, masih aja ngeyel. Sekarang siapa yang
sakit? Situ kan? Nah sekarang lo harus tanggung akibat perbuatan lo sendiri,”
Kata-katanya
menohok. Nyess.. Menusuk tepat ke jantung.
Iya,
Abi udah pernah melarang aku mati-matian untuk pacaran sama cowok populer
bernama Doni itu. Dia sering bilang kalau Doni itu playboy, Doni itu tukang
selingkuh, Doni itu tukang main cewek, dan lain sebagainya. Tapi yang namanya
cinta gimana sih? Bahkan Doni terima-terima saja dengan pekerjaan sampinganku
sebagai pengamen. Belum lagi perhatian Doni yang melebihi intensitas SMS
operator bikin aku pusing. Dia sukses bikin aku galau mau terima atau enggak
pas nembak aku 3 bulan yang lalu.
Dan
sekarang aku benar-benar menyesali keputusanku waktu itu.
“Kita
makan aja deh. Lo lapar kan? Entar gue yang traktir!”
Ini
dong dari tadi! Aku langsung bangun dari kasurku dan menyengir lebar ke arah
Abi. Abi yang sudah berdiri di depan pintu hanya berdecak pelan lalu keluar
dari kamarku.
“Giliran
makan aja, semangat.”
***
Kenalan
dulu boleh kan? Namaku Ganesha. Umurku 20 tahun. Tinggalnya di kost an Ibu
Hajjah Tuti dekat lampu merah Cibubur. Sekarang sedang kuliah semester 4
jurusan Sastra Inggris di salah satu Universitas Swasta di Depok. Canggih kan?
Padahal aku benar-benar tidak bisa Bahasa Inggris tapi kerennya ambil jurusan
maut seperti itu. Cakep.
Kalau
orang yang seumuran denganku nih pasti sedang asyik hangout ke tempat-tempat nongkrong atau di mall. Aih, bayanginnya
aja geli. Sejak aku pindah ke Jakarta, aku sudah enggak pernah lagi ke mall.
Sayang. Buang-buang duit. Kalau ke mall juga pasti nunggu traktiran temen.
Jadi, here I am, aku di dalam bis.
Mengamen seperti biasa. Buat cari penghasilan tambahan selain uang transfer dari
bapak.
Aku
sering mengamen dari daerah Bekasi sampai berhenti di dekat Jalan Baru.
Biasanya pagi-pagi aku langsung jalan bareng Abi ke rumah Noval yang letaknya
di Bekasi. Sekalian numpang sarapan gitu. Setelahnya kami bertiga ngamen dari
Bekasi sampai Kampung Rambutan. Penghasilan yang aku dapat lumayan kalau dibagi
tiga. Kira-kira ya bisa buat makan seharian.
“Dapet
berapa nih, masing-masing?” Abi memeluk gitarnya yang bernama Sella di depan
dadanya. Hampir semua gitarnya diberi nama. Biar enggak ketukar, katanya.
Aku
bergumam sambil menghitung kembali. “Kira-kira 35 ribu. Bagus deh, kita
mengalami surplus hari ini,”
“Bahasa
lo neng, neng. Kayak anak kantoran.” Noval, cowok Sunda tulen yang biasa
memegang kajoon hanya berdecak pelan
melihatku. Dia ini sebetulnya lumayan cakep. Tampangnya jangan ditanya.
Bener-bener bikin mata sakit saking gantengnya. Kalau kata orang sih mirip
Siwon SuJu tapi kalau kata aku sih enggak. Beneran deh, cakepan Doni malah
daripada dia. Doni kan cakepnya dalam negeri. Sementara Noval enggak.
Aku
memeletkan lidahku ke arah Noval. “Sekali-kali boleh dong. Siapa tau entar ada
CEO ganteng naksir sama gue. Terus gue dinikahin deh dan jadi istri pengusaha.
Aih, ciamik banget hidup gue,”
kekehku geli. Dengan cepat tangan Abi menjitak ujung kepalaku, membuat aku
meringis kesakitan.
“Kalau
ngomong dijaga ya. Entar kalau bener kejadian gimana?” tegurnya. Aku memutar
bola mataku kesal. Lagipula apa jeleknya sih harapanku tadi? Selain itu, mulutnya
Abi juga tidak ada bedanya denganku. Sama-sama kayak kran bocor.
Abi
ini cowok ‘unyu super ganteng’ yang kerjanya nempelin aku terus. Saking
dekatnya, sering banget aku dikira pacaran sama dia. Padahal? No way ya! Aku sama dia kan teman dari kampung
jadi pasti dekat banget. Belum lagi dia beda setahun di atasku makanya
seringkali sifatnya lebih kebapakan. Sok banget dewasa.
Aku,
Abi, dan Noval sama-sama kuliah di Universitas yang sama. Bedanya aku mengambil
Sastra Inggris sedangkan Abi dan Noval IT. Mereka seangkatan dan satu kelas.
Kemana-mana pasti bareng. Aku aja sempat bingung kenapa mereka selalu
ditakdirkan berduaan. Apa mereka memang jodoh atau kembar tak terpisahkan?
Aku
ini pindahan dari kota Semarang. Jauh kan? Abi juga sama. Makanya karena aku
sempat gagal masuk PTN di Depok, Abi menawarkan untuk kuliah satu kampus
dengannya. Karena aku sudah bingung mau apa ya aku nurut-nurut saja. Tapi entah
kerasukan jin mana, aku ambil Sastra Inggris.
Kerennya,
saat mengamen kami selalu pilih lagu berbahasa Inggris. Sekalian melatih
lidahku agar enggak terpeleset ngomong Bahasa Inggris. Aku juga kurang suka
dengan lagu dalam negeri. Tapi kalau yang jadul-jadul sih boleh ya.
“Sekarang
kita ngampus yuk. Mumpung sepi order,”
ajak Noval. Dia membangkitkan badannya dan menaruh kajoon nya di dalam kost an ku. Kebetulan kost an ku itu lumayan
luas karena ada halaman dan teras di depannya. Malah kost anku ini lebih mirip
kontrakan dibandingkan kost-an. Enggak heran kalau dua anak kunyuk ini sering
main ke sini. Belum lagi letak kost an Abi juga tidak terlalu jauh dari kost an
ku.
“Najis.
Order-order.. Lo kira kita bisnis
katering?” cibir Abi. Dia juga ikut membangkitkan badannya dari lantai teras
kost an ku dan menenteng Sella.
“Udah
deh. Don’t nge-bacot depan kost an
gue yang tentram ini. Gue mau beresin tas dulu. Mending kalian balik ke kost an
terus ambil motor,” saranku cepat sambil masuk ke dalam kost an. Mereka hanya
mengangguk dan berjalan pergi keluar. Aku segera menaruh gitar yang tadi di
pangkuanku lalu berlari ke kamar. Bersiap-siap.
Tak
lama kemudian, mereka sudah sampai di depan kost anku. Nah, gimana mereka
enggak digosipin homo kalau naik motor aja rapetnya kayak lem. Belum lagi
hobinya berduaan mulu.
“Mana
kunci motor lo?” Noval turun dari motor Abi dan menghampiriku. Yah, selalu
seperti ini. Noval membawa motorku ke kampus sementara aku berboncengan dengan
Abi. Katanya sih lebih baik sendirian daripada harus bonceng bareng sama Abi.
Aku
menyerahkan kunci motor dan mengunci pintu kost an. Sambil berlari ke motor
Abi, aku menggunakan helm di kepala biar enggak keliatan cakepnya. Muahaha. Aku
melihat Noval yang sudah siap dengan motorku dan kami segera melesat pergi ke
kampus.
***
Padahal
pagi ini enggak terik-terik banget sih. Jam setengah sepuluh. Tapi panasnya...
Bener-bener bikin haus kayak di gurun Sahara.
Aku
memesan dua botol aqua sambil menunggu kelasku tiba. Sambil memainkan game online dari HP-ku, aku meneguk aqua
gelas ketiga yang baru kupesan. Sumpeh ini kampret banget sih musuhnya, keluhku
sampai geregetan sendiri.
“Enggak
ada kelas, Nes?” Monik, salah satu teman seperjuangan yang aku temukan di
kampus menyeringai lebar. Dia mengambil kursi di hadapanku sambil bertopang
dagu. Aku yang sedang asyik main HP mau tak mau mengangkat kepala menatapnya.
“Bentar
lagi masuk. Lagian kelas gue mah dikit cuy, bentar lagi juga gue skripsi,”
cengirku lebar. Monik jengah melihatku yang PD akut di hadapannya.
Haha,
meskipun aku memang tidak bisa Bahasa Inggris tapi bukan berarti otakku itu stuck banget ya. Untungnya aku
diwariskan memiliki otak sepintar Enstein padahal aku anti banget sama Bahasa
Inggris. Makanya tidak heran aku mengambil kelas banyak saat awal tahun
sehingga sekarang kelasku sedikit dan tinggal menunggu UAS.
Monik
ini cewek unik yang aku temukan di kampus. Kerjanya cuman ngalor ngidul keliling kota demi organisasi anehnya. Meskipun dia
sibuk tapi kuliahnya enggak pernah macet. Mulusss... terus kayak jalan toll.
“Sumpeh
banyak gaya banget lu,” katanya sambil membetulkan letak kacamatanya. Aku hanya
mengendikkan kedua bahuku tak peduli sambil terus berkonsentrasi dengan musuh
kampretku ini.
“Nesha,”
Deg! Aku tau
betul suara siapa ini. Lebih baik aku tidak menanggapi, kataku dalam hati. Tapi
dia tidak menyerah dan terus membujukku.
“Nes,
aku mau bicara sama kamu,” katanya pelan. Kata-katanya sedikit memelas,
membuatku sedikit kesal kenapa cowok ini lemah
banget. Pas awal-awal pacaran sih hangat banget orangnya tapi akhir-akhir ini
enggak tuh! Dingin. Jutek. Ternyata karena ada cewek lain ya.
Aku
menoleh ke arah Doni yang berdiri di belakangku. Betul kan. Mukanya sok banget
minta belas kasihan. Aku hanya menatapnya datar tanpa ekspresi. Berharap dia
mengerti aku tidak ingin bicara.
“Please, forgive me.” Everything for you, Beb! HAH! Itu
duluuu! Duluuu sebelum kamu cuek ke aku, aku pasti jawabnya gitu. Sumpah aku
jadi merinding sendiri kalau mengingat-ingat hal itu.
Aku
beranjak dari kursiku agar berdiri sejajar dengannya. Meskipun masih lebih
tinggi dia sih.
“Masih
berani juga dateng ke gue? Kemana ceweknya yang kemarin? Yang ada di kasur lo itu?
Enggak dibawa sekalian ke sini?”
“Maaf.
Sorry banget udah nyakitin kamu. Aku
enggak tau ternyata kamu bikin surprise
buat aku. Kamu sukses banget bikin aku terkejut saat itu,”
HAHAHA,
tawaku dalam hati. Ya iyalah lo terkejut, kemaren malem kan lagi sibuk sama
cewek itu!
“Kita
putus atau gue lempar lo ke kantor dekan?” desisku. Mataku memicing tajam ke
arahnya dan kepalaku sedikit mendongak. Doni meringis. Dia pasti tau aku punya
sejarah sabuk hitam taekwondo.
“Oke,
aku pergi. Tapi sekali lagi aku minta maaf, Nes. Apa enggak ada kesempatan lagi
buat aku?”
“PERGI
GAK LO?!” bentakku kesal. Bahkan satu kantin ini sampai terlonjak kaget. Mereka
tidak menyangka aku berani membentak salah satu ‘pangeran’ di kampus.
Dengan
berat hati, Doni melangkahkan kakinya menjauhiku. Aku membuang pandangan
darinya sambil membereskan aqua kemudian tasku. Dari sudut mataku, aku tau Doni
sempat menoleh ke arahku tapi aku ogah membalasnya. Hih, malas banget!
Mataku
melirik ke jam tangan sport di tangan
kiriku. Jam 10. Eh buset! Kelasku sudah mulai! Sambil tersenyum ke arah Monik,
aku beringsut-ingsut pergi dan berlari ke kelasku di lantai dua.
***
(bersambung ke wattpad ya)
4 comments
pibesdey deh buat om fathir, dan congrats buat dua anaknya tante nesha :p
ReplyDeletemantafff ceritanya mbak, numpang nyanyi aahhh:
You know I want you in the worst waaaaay!!!
I need you like cake on my birthdaaaaay!!!
The way you operate is so sweeeeet!!!
I need you like cake on my birthdaaaaay!!!
Ba da ba da ba, ba da ba da ba
hahahah thank you lho saan
DeleteUpdate lagi dong, thanks, blog inspirasi saya 👍
ReplyDeletewow dibilang menginspirasi pdhl blog nya biasa bgt huhu
Delete